August, 19th, San Francisco, St. Luke's County Hospital.
Musim panas yang seperti biasanya. Yang membedakan adalah kenyataan bahwa musim panas ini harus dihabiskan Will di Rumah Sakit. Mendapat Shift di Rumah sakit pada waktu musim sebenarnya mengandung resiko yang sangat besar juga, karena para Dokter staff sedang berlibur, banyak pasien yang berada di bawah pengawasan Para Resident awal yang masih kurang pengalaman dan mahasiswa kedokteran yang melakukan pelatihan di musim panas.
"Bagus, hari ini berakhir juga..." Erang Erick Burke, salah satu dari resident senior, pelan. Saat itu adalah saat makan siang, Will dan beberapa resident lain tengah beristirahat di cafetaria rumah sakit.
"Bagaimana tadi?" Tanya Kate Edinburgh, Resident tahun kedua.
"Begitulah... Patah tulang, kasus keracunan... Dan para mahasiswa menyebalkan itu." Keluh Erick.
"Shift mu sudah selasai? Bersyukurlah... Aku baru akan mulai..." Will terkekeh sambil mencomot bluberry muffin-nya.
"Yah, selamat berjuang. Aku akan pulang sekarang dan tidur... Selama mungkin..." Erick menguap dan beranjak dari kursinya sambil menepuk bahu Will.
Will meringis pelan. Benar saja, tak lama kemudian pengeras suara berbunyi.
"Dokter Bowman, ER Empat... Dokter Bowman, ER Empat...."
"Ada pasien dengan luka tusuk."
"Nyonya Harish mengeluh sakit dada..."
"Pasien di bangsal lima sakit kepala, apa boleh saya beri paracetamol?"
Sekitar tengah malam, Will baru berhasil merebahkan diri di ruang istirahat ketika pengeras suara kembali berbunyi.
"Dokter Bowman, ER Lima, Stat."
Sambil terkantuk-kantuk, Will bangkit dari kursinya. Stat, statum, segera. Will memaksakan dirinya untuk bangun dan menyusuri koridor menuju ruang gawat darurat. Ada pasien patah tulang lengan dan sedang menjerit-jerit kesakitan.
"Ambil foto Rontgen," ujar Will cepat sambil mengamati luka pasien itu. "Dan beri dia Demerol, lima puluh miligram." Ia menepuk pelan bahu orang itu, "anda akan segera pulih, cobalah untuk tenang..."
"Dokter Bowman, bangsal Tujuh, stat."
Will melirik pasien patah tulang yang masih mengerang. Tidak tega untuk meninggalkannya.
"Baik," Will bergumam dan bergegas ke bangsal tujuh. Ada pasien yang berteriak-teriak karena mengalami kejang perut. Will memeriksanya dengan cepat. "Mungkin gangguan lambung. Lakukan USG." Perintah Will. Begitu ia selesai, panggilan berikut sudah terdengar. "Dokter Bowman... Bangsal Dua, Dokter Bowman... Bangsal Dua..."
Pasien itu muntah, lalu tersedak ketika menarik nafas.
"Dia tidak bisa bernafas..." Ujar Perawat.
"Tolong di-suction," Ujar Will cepat. Ia masih memperhatikan pasien itu menarik nafas, ketika namanya dipanggil lagi melalui pengeras suara.
"Dokter Bowman, ER Tiga, stat."
"Pasien Usus buntu di Bangsal Lima kesakitan...."
Pasien itu anak kecil berusia sepuluh tahun. Biasanya ia ditemani ibunya di bangsal, tapi tampaknya ibu anak itu sedang keluar. Will memberinya obat dan menghiburnya ketika namanya, kembali, dipanggil.
Sampai pukul tiga pagi, Will menangani sekitar 5 kasus kecelakaan, ditambah lagi kasus-kasus lain yang terus berdatangan.
Pukul 3.45, ketika akhirnya ia berhasil memejamkan mata selama 5 menit, telepon disamping tempat tidur berdering. Deringnya terdengar menusuk dan memaksa. Will bersusah payah membuka matanya.
"Dokter, sebaiknya anda segera ke lantai 4, stat."
Ketika Will melangkah pelan sepanjang koridor lantai empat, namanya kembali dipanggil. "Dokter Bowman, kamar 108"
Salah satu pasien di bangsal mengalami serangan jantung. Will masih mendengarkan denyut jantungnya dengan gelisah, ketika namanya dipanggil melalui pengeras suara. "Dokter Bowman, ER Tiga, stat... Dokter Bowman, ER Tiga, stat..."
Jangan panik, pikir Will. Aku harus tetap tenang.
Ia panik.
Siapa yang lebih penting, pasien yang sedang diperiksanya, atau pasien berikut?
"Jangan kemana-mana, saya akan segera kembali," ujarnya asal.
Ia sedang melangkah cepat di sepanjang koridor menuju ER Tiga, ketika namanya kembali dipanggil lagi. "Dokter Bowman, ER Satu, stat."
Ya Tuhan! pikir Will. Ia seperti terperangkap di mimpi buruk tanpa akhir.
Will berlari dari satu krisis ke krisis yang lain. Berusaha menghalau badai bencana yang melanda ruang gawat darurat.
Waktu kembali ke ruang istirahat, ia sudah amat letih hingga tidak bisa bergerak lagi. Ia merangkak ke tempat tidur lipat dan baru mulai tertidur ketika telepon di samping tempat tidur berdering.
Ia menangangkat gagang telepon sambil masih menutup matanya. "H'lo...?"
"Dokter Bowman, anda sudah ditunggu-tunggu."
"Apa?" Will memandang langit-langit dengan tatapan kosong. Berusaha mengingat dimana ia berada.
"Sudah waktunya kunjungan pasien, Dokter."
"Kunjungan pasien?" Ini sungguh lelucon yang tidak lucu, pikir Will. Sangat tidak manusiawi. Mana bisa mereka memaksa orang terus-terusan bekerja seperti ini?
Tapi ia sudah ditunggu-tunggu.
Lima menit kemudian, Will sudah mengikuti kunjungan pasien dalan keadaan antara sadar dan tidak. Ia menubruk Dokter Pricilia. "Maaf..." Will bergumam. "Saya..."
Dokter Pricilia menatapnya dengan tatapan iba. "Anda akan terbiasa." Ujarnya sambil menepuk-nepuk bahu Will.
Will hanya bisa terkekeh pelan. Selepas kunjungan pasien, Will pulang naik taksi. Supir taksi menatapnya penuh tanda tanya.
"Wilbourne street, no 25..." Gumam Will tidak jelas, sambil bersandar di jok. Kepalanya sangat berat.
Sesampainya di rumah, Will mengetuk pengetuk pintu berbentuk kepala Griffin dengan sisa tenaga yang dimilikinya.
"Ya?" Renata yang membukakan pintu.
Will langsung tumbang ke pelukan Renata.
"Aih...." Renata tersenyum tertahan dan memapah Will masuk.
Will tertidur selama 18 jam.
--------------------------------------------------------------------------------------------
Catatan :
Ini cerita saat Will menjalani tahun pertama residensinya di San Francisco. Disana, ia tinggal bersama kakaknya Renata, yang juga bekerja di salah satu rumah sakit di San Jose -40 menit perjalanan dari San Francisco-.
Di Perancis, Will menjalani tahun residensinya yang kedua.
-Di Profil, ditulis dia residen tahun pertama, lupa di-edit, itu seharusnya residen tahun kedua ^^;-